YAS’ALUNAKA: Apakah Boleh Manjamak Shalat Magrib dan Isya Karena Shift Pekerjaan?
- 4 March 2024
- Posted by: ADMIN IT
- Category: Fiqih Ibadah
Pertanyaan
Apakah boleh menjamak salat magrib dan isya karena shift pekerjaan? Karena jika ditinggal salat, khawatir ada barang yang hilang dan memang pernah kejadian seperti itu, sehingga saya dapat teguran dari pimpinan.
Jawaban
Bismillahirrahmanirrahim,
Salat yang paling baik adalah salat yang dikerjakan di waktunya masing-masing sesuai dengan keumuman Ayat Al-Quran dan praktik langsung Nabi Muhammad saw. Yakni salat zuhur dikerjakan di waktu zuhur, asar di waktu asar, magrib di waktu magrib dan seterusnya. Tentu saja ini adalah yang paling afdal, dibanding menjamak salat, baik taqdim maupun ta’khir.
Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
اِنَّ الصَّلٰوةَ كَانَتْ عَلَى الْمُؤْمِنِيْنَ كِتٰبًا مَّوْقُوْتًا
“Sesungguhnya salat itu merupakan kewajiban yang waktunya telah ditentukan atas orang-orang mukmin.” QS An-Nisā’ [4]:103
Dalam sebuah riwayat disebutkan bahwa Sahabat Ibnu Mas’ud ra berkata,
مَا رَأَيْت النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ صَلَّى صَلاةً لِغَيْرِ مِيقَاتِهَا إِلا صَلاتَيْنِ جَمَعَ بَيْنَ الْمَغْرِبِ وَالْعِشَاءِ بِجَمْعٍ ” أَيْ بِمُزْدَلِفَةَ
“Tidak pernah sekalipun aku melihat Nabi Muhammad saw salat di luar waktu salat, kecuali dua salat, salah satunya ketika beliau menjamak magrib dan isya di Muzdalifah (red: saat berhaji). ” (HR al-Bukhari)
Ayat Al-Quran dan praktik Nabi Muhammad saw di atas menunjukkan bahwa salat yang paling afdal adalah dikerjakan tepat di masing-masing waktunya, sekaligus menjadi bukti bahwa Nabi Muhammad saw adalah orang yang sangat menjaga waktu salat serta meletakkan salat sebagai prioritas utama dibanding banyak hal penting lainnya.
Dari sini kemudian Jumhur Ulama menyatakan bahwa kebolehan menjamak dua salat itu harus memiliki alasan khusus yang juga disebutkan dalam hadis Nabi atau dalil spesifik lainnya.
Jumhur Ulama menyebut ada empat alasan dibolehkannya menjamak salat (terlepas dari perbedaan rincian di dalamnya), yaitu karena safar, khauf (situasi takut yang akut/ kegentingan dahsyat), hujan, dan alasan sakit. Selain ke-empat alasan ini, tidak bisa dijadikan dalil bagi seseorang untuk menjamak dua salat. (Lihat al-Mausu’ah al-Fiqhiyah al-Kuwaitiyah 15/292)
Namun, ada sebagian ulama yang membolehkan menjamak dua salat, di luar empat alasan yang telah dikemukakan di atas. Keterangan mengenai hal ini, salah satunya bisa kita dapati di kitab Kifayatul Akhyar. Imam Taqiyuddin al-Hishni menyatakan,
«كفاية الأخيار في حل غاية الاختصار» (ص140):
«ذهب جمَاعَة من الْعلمَاء إِلَى جَوَاز الْجمع فِي الْحَضَر للْحَاجة لمن لَا يَتَّخِذهُ عَادَة وَبِه قَالَ أَبُو إِسْحَاق الْمروزِي وَنَقله عَن الْقفال وَحَكَاهُ الْخطابِيّ عَن جمَاعَة من أَصْحَاب الحَدِيث وَاخْتَارَهُ ابْن الْمُنْذر من أَصْحَابنَا وَبِه قَالَ أَشهب من أَصْحَاب مَالك وَهُوَ قَول ابْن سِرين وَيشْهد لَهُ قَول ابْن عَبَّاس رَضِي الله عَنْهُمَا أَرَادَ أَن لَا يحرج أمته حِين ذكر أَن رَسُول الله صلى الله عَلَيْهِ وَسلم (جمع بِالْمَدِينَةِ بَين الظّهْر وَالْعصر وَالْمغْرب وَالْعشَاء من غير خوف وَلَا مطر)“Sebagian ulama berpendapat boleh menjamak dua salat bagi orang yang mukim (bukan musafir) karena adanya kebutuhan (hajat) akan hal itu, asalkan tidak menjadi kebiasaan diri. Ini adalah pendapat Abu Ishaq al-Marwazi, al-Qaffal, al-Khattabi dari sebagian ulama ahli hadis, Ibnu al-Mundzir dari kalangan Syafi’iyah, Asyhab dari Madzhab Maliki dan juga pendapat Ibnu Sirin.
Pendapat kelompok ini didasarkan pada hadis Ibnu Abbas ra yang menyatakan bahwa Nabi Muhammad saw pernah menjamak salat zuhur-asar dan magrib-isya di Kota Madinah, tanpa adanya situasi yang genting (khauf), tidak pula karena sedang hujan.
Ketika ditanyakan kepada Ibnu Abbas ra kenapa Nabi Muhammad saw melakukan demikian, beliau menjawab, “Agar supaya tidak memberatkan umat.”
..
Situasi Saudara yang bekerja dalam shift yang tidak memungkinkan untuk bisa salat tepat waktu bisa dikategorikan dalam ranah hajat. Sebab Saudara berada di posisi yang sama sekali tidak bisa meninggalkan pekerjaan.
Namun, perlu diingat bahwa kebolehan jamak salat karena pekerjaan ini tidak boleh menjadi praktik rutin tanpa memperhatikan faktor kebutuhan atau hajat. Hal ini agar setiap orang tidak serampangan dalam menggunakan kemudahan yang diberikan.
Bahwa seluruh keputusan fiqih yang diambil harus didasari pertimbangan ilmu dan maslahah, bukan pilih-pilih sesuai keinginan dan hawa nafsu masing-masing.
..
Kesimpulan;
1. Salat yang paling afdal adalah salat yang dikerjakan sesuai dengan waktunya masing-masing.
2. Jumhur ulama membolehkan manjamak salat dengan alasan tertentu. Yaitu hanya karena safar, khauf, hujan dan sakit.
3. Sebagian ulama membolehkan alasan tambahan untuk membolehkan menjamak salat yaitu karena adanya hajat atau kebutuhan. Dengan catatan tidak menjadi kebiasaan yang rutin, tanpa pertimbangan kebutuhan dan hajat sama sekali.
4. Dalam konteks pertanyaan saudara, maka saudara bisa memilih antara dua pendapat di atas, sehingga ada dua opsi pilihan: (1) ikut pendapat jumhur ulama yang tidak membolehkan menjamak salat karena urusan pekerjaan. Sehingga saudara wajib mengqadha salat yang ditinggalkan. (2) ikut pendapat sebagian ulama, sehingga Saudara boleh menjamak salat karena pekerjaan (hajat), asalkan tidak menjadi kebiasaan.
Wallahu a’lam.
[Yas’alunaka-STIM Surakarta]
Bagi Anda yang ingin join grub belajar: FIQIH IBADAH, FIQIH MUNAKAHAH, dan FIQIH WARIS & MUAMALAH MALIYAH, silakan join grub wa YAS’ALUNAKA berikut ini https://chat.whatsapp.com/J69ZAbbqGz81NEsBB9xrdl
Bagikan link belajar FIQIH ini, kepada keluarga, saudara dan teman Anda. Semoga keridhoan Anda membagikan informasi ini, ada catatan amal kebaikan Anda untuk umat muslim.
Dibimbing oleh Ustadz Wildan Jauhari, Lc., M.H.