Blog
Oleh : Sudarmadi Putra, M.Ud
Mencintai sesama mukmin merupakan barometer iman seseorang. Iman seseorang dikatakan sempurna jika dirinya lebih mencintai saudaranya daripada dirinya sendiri. Para Nabi dan para Syuhada’ merasa iri kepada hamba-hamba Allah yang saling mencintai, mengasihi dan menyayangi. Mereka dipanggil khusus dengan panggilan yang lembut dan merdu pada hari kiamat kelak. Kamar-kamar mereka akan terlihat di surga seperti bintang-bintang yang terbit di sebelah timur dan barat, mereka akan mendapatkan naungan yang mana tidak ada naungan selain naungan-Nya.
Namun apa jadinya jika kecintaan itu menjadi pudar, rusak dan lenyap dari orang-orang mukmin. Maka bukanlah rahmat yang didapat, tapi murka Allah. Bukanlah kemenangan yang diperoleh, melainkan kekalahan dan kegagalan. Bukanlah persatuan yang digalang, namun permusuhan dan kebencian yang datang. Sehingga setan dan musuh-musuh lslam akan menjadi gembira dan senang.
Umat islam diibaratkan satu tubuh, satu dengan yang lainnya saling membutuhkan dan tidak bisa dipisahkan. Masing- masing anggota tubuh akan saling bersinergi dan bekerja sama. Perbedaan adalah hal yang wajar selama tidak menyangkut masalah prinsip dan bersifat qath’I. istilah ini biasa disebut dengan Tsawabit wal Mutagayyirat (permanen dan berubah) Umat islam adalah satu keluarga, masing- masing anggota keluarga pasti tidak ada yang sama dalam hal keinginan dan kesukaan, contoh saja dalam hal makanan, ada yang senang pedas ada juga yang manis ada juga kolaborasi antara pedas dan manis.
Begitulah potret kehidupan umat islam, sebagaimana digambarkan Sayyid Qutub dalam tafsir Fi zdilalil Qur’an dalam surah al-hujurat. Surat yang tidak lebih dari 18 ayat ini merupakan surah yang Agung dan besar, yang mengandung aneka Aqidah dan Syari’ah yang penting, yang mengandung berbagai hakikat wujud dan kemanusian.
Persaudaraan yang kokoh dapat menambahkan kekuatan. Al-Ukhuwah akan menghasilkan Al-Quwwah seperti dalam pepatah, “ bersatu kita teguh bercerai kita runtuh” senada juga dengan peribahasa yang mengatakan “ berat sama dipikul ringan sama dijinjing.
Begitu sangat urgennya persaudaraan dalam dien (keyakinan). Sampai-sampai kata Ikhwatun (إِخْوَةٌ ) tentang persaudaraan hanya dibahas dalam surat Al-Hujuraat yang berarti kamar-kamar. Mempunyai makna bahwa orang-orang mukmin itu semuanya bersaudara walaupun berbeda keturunan, tapi Dien mereka Satu. Seperti satu keluarga. Maka tidak baik kalau satu keluarga itu saling bermusuhan dan menyakiti.
Sebagaimana Sabda Nabi shollallahu ’alaih wa sallam :
الْمُؤْمِنُ مِنْ أَهْلِ الإِيمَانِ بِمَنْزِلَةِ الرَّأْسِ مِنَ الْجَسَدِ ، يَأْلَمُ الْمُؤْمِنُ لأَهْلِ الإِيمَانِ كَمَا يَأْلَمُ الْجَسَدُ لِمَّا فِي الرَّأْسِ
Artinya : “Sesungguhnya ( Hubungan ) orang Mukmin dengan orang-orang yang beriman
Adalah seperti ( Hubungan ) kepala dengan seluruh tubuh. Seorang mukmin akan merasakan sakit karena orang mukmin lainnya sebagaimana badan akan merasa sakit karena sakit pada kepala”
Sebagaimana firman Allah subhaanahu wa ta’aalaa :
إِنَّمَا الْمُؤْمِنُونَ إِخْوَةٌ فَأَصْلِحُوا بَيْنَ أَخَوَيْكُمْ وَاتَّقُوا اللَّهَ لَعَلَّكُمْ تُرْحَمُونَ
Artinya : Orang-orang beriman itu sesungguhnya bersaudara. Sebab itu damaikanlah (perbaikilah hubungan) antara kedua saudaramu itu dan takutlah terhadap Allah, supaya kamu mendapat rahmat.
Adapun dalam upaya memelihara persatuan dan menghindari perpecahan di kalangan umat islam ada beberapa faktor yang harus diperhatikan, agar ukhuwah Islamiyah tetap terpelihara dan perpecahan dapat dihindari.
Perlu kita perhatikan faktor-faktor yang bisa membuat subur, tumbuh, datang, dan bersemayam kecintaan sesama mukmin itu Faktor-faktor yang mendatangkan kecintaan, diantaranya, saling mendo’akan, menjenguk, menasehati, memberi salam apabila ketemu, memenuhi undangan apabila diundang, saling memberi hadiah bahkan sampai mengiringi jenazahnya.
Sedangkan faktor – faktor yang dapat merusak Al-Ukhuwah internal umat Islam, diantara dimulai ayat ke 6 dan 11-12 dari surah Al-hujuraat.
Diayat ke 6 dari surah Al-Hujuraat Allah subhaanahu wa ta’aalaa berfirman :
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا إِنْ جَاءَكُمْ فَاسِقٌ بِنَبَإٍ فَتَبَيَّنُوا أَنْ تُصِيبُوا قَوْمًا بِجَهَالَةٍ فَتُصْبِحُوا عَلَى مَا فَعَلْتُمْ نَادِمِينَ
Artinya : Hai orang-orang yang beriman, jika datang kepadamu orang fasik membawa suatu berita, maka periksalah dengan teliti agar kamu tidak menimpakan suatu musibah kepada suatu kaum tanpa mengetahui keadaannya yang menyebabkan kamu menyesal atas perbuatanmu itu.
Di ayat ke 11-12 juga Allah subhaanahu wa ta’aalaa berfirman :
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لَا يَسْخَرْ قَوْمٌ مِنْ قَوْمٍ عَسَى أَنْ يَكُونُوا خَيْرًا مِنْهُمْ وَلَا نِسَاءٌ مِنْ نِسَاءٍ عَسَى أَنْ يَكُنَّ خَيْرًا مِنْهُنَّ وَلَا تَلْمِزُوا أَنْفُسَكُمْ وَلَا تَنَابَزُوا بِالْأَلْقَابِ بِئْسَ الِاسْمُ الْفُسُوقُ بَعْدَ الْإِيمَانِ وَمَنْ لَمْ يَتُبْ فَأُولَئِكَ هُمُ الظَّالِمُونَ
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اجْتَنِبُوا كَثِيرًا مِنَ الظَّنِّ إِنَّ بَعْضَ الظَّنِّ إِثْمٌ وَلَا تَجَسَّسُوا وَلَا يَغْتَبْ بَعْضُكُمْ بَعْضًا أَيُحِبُّ أَحَدُكُمْ أَنْ يَأْكُلَ لَحْمَ أَخِيهِ مَيْتًا فَكَرِهْتُمُوهُ وَاتَّقُوا اللَّهَ إِنَّ اللَّهَ تَوَّابٌ رَحِيمٌ
Artinya : Hai orang-orang yang beriman, janganlah sekumpulan orang laki-laki merendahkan kumpulan yang lain, boleh jadi yang ditertawakan itu lebih baik dari mereka. Dan jangan pula sekumpulan perempuan merendahkan kumpulan lainnya, boleh jadi yang direndahkan itu lebih baik. Dan janganlah suka mencela dirimu sendiri dan jangan memanggil dengan gelaran yang mengandung ejekan. Seburuk-buruk panggilan adalah (panggilan) yang buruk sesudah iman dan barangsiapa yang tidak bertobat, maka mereka itulah orang-orang yang zalim. Hai orang-orang yang beriman, jauhilah kebanyakan purba-sangka (kecurigaan), karena sebagian dari purba-sangka itu dosa. Dan janganlah mencari-cari keburukan orang dan janganlah menggunjingkan satu sama lain. Adakah seorang diantara kamu yang suka memakan daging saudaranya yang sudah mati? Maka tentulah kamu merasa jijik kepadanya. Dan bertakwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah Maha Penerima Taubat lagi Maha Penyayang.
Allah subhaanahu wa ta’aalaa memberi peringatan kepada orang- orang beriman, apabila datang seseorang yang fasik yaitu yang suka berbuat dosa membawa berita, kita tidak boleh langsung menerima berita itu begitu saja, tanpa melakukan tabayun dan cheking. Untuk memastikan kevalidan berita tersebut. Jika memang benar berita itu, tapi menyangkut privasi seorang muslim, maka harus dirahasiakan bukan malah dishare kemana-mana. Karena menjaga kehormatan sesama muslim harus lebih dikedepankan. Ini tantangan dari eksternal.
Sedangkan tantangan dari internal umat islam, Allah subhaanahu wa ta’aalaa mengingatkan agar tidak boleh saling mengejek dan mengolok-olok, baik antar individu maupun kelompok. Dan tidak juga saling mencaci atau menghina baik dengan kata-kata yang menyakitkan. Bahkan sampai memanggil dan memberi stigma yang tidak disukai.
Urgensi memelihara persatuan dan kesatuan umat manusia tergambar pada surah Al-Baqarah ayat 213 :
كَانَ ٱلنَّاسُ أُمَّةً وٰحِدَةً فَبَعَثَ ٱللّٰهُ ٱلنَّبِيِّۦنَ مُبَشِّرِينَ وَمُنذِرِينَ وَأَنزَلَ مَعَهُمُ ٱلْكِتٰبَ بِٱلْحَقِّ لِيَحْكُمَ بَيْنَ ٱلنَّاسِ فِيمَا ٱخْتَلَفُوا۟ فِيهِ ۚ
Artinya : Manusia itu adalah umat yang satu. (setelah timbul perselisihan), maka Allah mengutus para nabi, sebagai pemberi peringatan, dan Allah menurunkan bersama mereka Kitab yang benar, untuk memberi keputusan di antara manusia tentang perkara yang mereka perselisihkan.
Potret kehidupan umat islam sebagaimana yang dibangun oleh Rasulullah shollallahu ’alaih wa sallam ketika di Madinah, menyatukan kabilah- kabilah yang selama ini bertikai dan berperang seperti ‘Aus dan khazraj akhirnya mereka bersatu dalam keyakinan yang kuat bahkan lebih kuat dibanding kekuatan persaudaran senasab maupun sedarah. Akhirnya potret ideal bagi panutan umat ini adalah Al-Ukhuwah Islamiyah antara Muhajirin dan Anshar. Yang mana kaum Anshar bersedia hidup senang dan susah bersama Muhajirin bahkan mereka orang-orang Anshar lebih mendahulukan saudaranya daripada diri mereka sendiri. Sebagaiman firman Allah subhaanahu wa ta’aalaa :
وَالَّذِينَ تَبَوَّءُوا الدَّارَ وَالْإِيمَانَ مِنْ قَبْلِهِمْ يُحِبُّونَ مَنْ هَاجَرَ إِلَيْهِمْ وَلَا يَجِدُونَ فِي صُدُورِهِمْ حَاجَةً مِمَّا أُوتُوا وَيُؤْثِرُونَ عَلَى أَنْفُسِهِمْ وَلَوْ كَانَ بِهِمْ خَصَاصَةٌ وَمَنْ يُوقَ شُحَّ نَفْسِهِ فَأُولَئِكَ هُمُ الْمُفْلِحُونَ
Artinya : Dan orang-orang yang telah menempati kota Madinah dan telah beriman (Anshor) sebelum (kedatangan) mereka (Muhajirin), mereka (Anshor) ‘mencintai’ orang yang berhijrah kepada mereka (Muhajirin). Dan mereka (Anshor) tiada menaruh keinginan dalam hati mereka terhadap apa-apa yang diberikan kepada mereka (Muhajirin); dan mereka mengutamakan (orang-orang Muhajirin), atas diri mereka sendiri, sekalipun mereka dalam kesusahan. Dan siapa yang dipelihara dari kekikiran dirinya, mereka itulah orang orang yang beruntung.
Dengan demikian harapannya hubungan sesama mukmin semakin hari semakin kuat dan kokoh untuk selama-lamanya baik didunia maupun di akhirat. Sehingga kemenangan yang diraih, pahala yang dinanti, bertemu ilahi di surga Firdausi, Amiin.
Wallahu ‘alam bi shawab.
Penulis : Oleh : Sudarmadi Putra, M.Ud